Menit-menit Lepasnya Timor-timur dari Indonesia
SEJARAH SEJARAH INDONESIATIMOR-TIMUR
Mufti 1 Jun '13
39
Berikut ini adalah tulisan seorang wartawan yang meliput jajak pendapat
di Dili, Timor-timur. Tulisan berikut ini sungguh luar biasa, namun
sekaligus membuat dada sesak.
Ditulis oleh Kafil Yamin, wartawan kantor berita The IPS Asia-Pacific,
Bangkok, yang dikirim ke Timor Timur pada tanggal 28 Agustus 1999 untuk
meliput ‘Jajak Pendapat Timor-Timur’ yang diselenggarakan UNAMET [United
Nations Mission in East Timor], 30 Agustus 1999.
Judul asli dari tulisan ini adalah Menit-Menit yang Luput dari Catatan
Sejarah Indonesia. Saya sengaja ubah judulnya dengan maksud agar lebih
jelas mengenai apa yang terkandung dalam tulisan tersebut.
Menit-Menit yang Luput dari Catatan Sejarah Indonesia
Oleh: Kafil Yamin
Jajak pendapat itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah referendum,
adalah buah dari berbagai tekanan internasioal kepada Indonesia yang
sudah timbul sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1989. Belakangan tekanan
itu makin menguat dan menyusahkan Indonesia. Ketika krisis moneter
menghantam negara-negara Asia Tenggara selama tahun 1997-1999, Indonesia
terkena. Guncangan ekonomi sedemikian hebat; berimbas pada stabilitas
politik; dan terjadilah jajak pendapat itu.
Kebangkrutan ekonomi Indonesia dimanfaatkan oleh pihak Barat, melalui
IMF dan Bank Dunia, untuk menekan Indonesia supaya melepas Timor Timur.
IMF dan Bank Dunia bersedia membantu Indonesia lewat paket yang disebut
bailout, sebesar US$43 milyar, asal Indonesia melepas Timtim.
Apa artinya ini? Artinya keputusan sudah dibuat sebelum jajak pendapat
itu dilaksanakan. Artinya bahwa jajak pendapat itu sekedar formalitas.
Namun meski itu formalitas, toh keadaan di kota Dili sejak menjelang
pelaksanan jajak pendapat itu sudah ramai nian. Panita jajak pendapat
didominasi bule Australia dan Portugis. Wartawan asing berdatangan. Para
pegiat LSM pemantau jajak pendapat, lokal dan asing, menyemarakkan pula
– untuk sebuah sandiwara besar. Hebat bukan?
Sekitar Jam 1 siang, tanggal 28 Agustus 1999, saya mendarat di Dili.
Matahari mengangkang di tengah langit. Begitu menyimpan barang-barang di
penginapan [kalau tidak salah, nama penginapannya Dahlia, milik orang
Makassar], saya keliling kota Dili. Siapapun yang berada di sana ketika
itu, akan berkesimpulan sama dengan saya: kota Dili didominasi kaum
pro-integrasi. Mencari orang Timtim yang pro-kemerdekaan untuk saya
wawancarai, tak semudah mencari orang yang pro-integrasi.
Penasaran, saya pun keluyuran keluar kota Dili, sampai ke Ainaro dan
Liquica, sekitar 60 km dari Dili. Kesannya sama: lebih banyak
orang-orang pro-integrasi. Di banyak tempat, banyak para pemuda-pemudi
Timtim mengenakan kaos bertuliskan Mahidi [Mati-Hidup Demi Integrasi],
Gadapaksi [Garda Muda Penegak Integrasi], BMP [Besi Merah Putih],
Aitarak [Duri].
Setelah seharian berkeliling, saya berkesimpulan Timor Timur akan tetap
bersama Indonesia. Bukan hanya dalam potensi suara, tapi dalam hal
budaya, ekonomi, sosial, tidak mudah membayangkan Timor Timur bisa
benar-benar terpisah dari Indonesia. Semua orang Timtim kebanyakan
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Para penyedia barang-barang
kebutuhan di pasar-pasar adalah orang Indonesia. Banyak pemuda-pemudi
Timtim yang belajar di sekolah dan universitas Indonesia, hampir
semuanya dibiayai pemerintah Indonesia. Guru-guru di sekolah-sekolah
Timtim pun kebanyakan orang Indonesia, demikian juga para petugas
kesehatan, dokter, mantri.
Selepas magrib, 28 Agustus 1999, setelah mandi dan makan, saya duduk di
lobi penginapan, minum kopi dan merokok. Tak lama kemudian, seorang
lelaki berusia 50an, tapi masih terlihat gagah, berambut gondrong,
berbadan atletis, berjalan ke arah tempat duduk saya; duduk dekat saya
dan mengeluarkan rokok . Rupanya ia pun hendak menikmati rokok dan kopi.
Mungkin karena dipersatukan oleh kedua barang beracun itu, kami cepat akrab. Dia menyapa duluan: “Dari mana?” sapanya.
“Dari Jakarta,” jawabku, sekalian menjelaskan bahwa saya wartawan, hendak meliput jajak pendapat.
Entah kenapa, masing-masing kami cepat larut dalam obrolan. Dia tak ragu
mengungkapkan dirinya. Dia adalah mantan panglima pasukan
pro-integrasi, yang tak pernah surut semangatnya memerangi Fretilin
[organisasi pro-kemerdekaan], “karena bersama Portugis, mereka membantai
keluarga saya,” katanya. Suaranya dalam, dengan tekanan emosi yg
terkendali. Terkesan kuat dia lelaki matang yang telah banyak makan asam
garam kehidupan. Tebaran uban di rambut gondrongnya menguatkan kesan
kematangan itu.
“Panggil saja saya Laffae,” katanya.
“Itu nama Timor atau Portugis?” Saya penasaran.
“Timor. Itu julukan dari kawan maupun lawan. Artinya ‘buaya’,” jelasnya lagi.
Julukan itu muncul karena sebagai komandan milisi, dia dan pasukannya
sering tak terdeteksi lawan. Setelah lawan merasa aman, tiba-tiba dia
bisa muncul di tengah pasukan lawannya dan melahap semua yang ada di
situ. Nah, menurut anak buah maupun musuhnya, keahlian seperti itu
dimiliki buaya.
Dia pun bercerita bahwa dia lebih banyak hidup di hutan, tapi telah
mendidik, melatih banyak orang dalam berpolitik dan berorganisasi.
“Banyak binaan saya yang sudah jadi pejabat,” katanya. Dia pun menyebut
sejumlah nama tokoh dan pejabat militer Indonesia yang sering
berhubungan dengannya.
Rupanya dia seorang tokoh. Memang, dilihat dari tongkrongannya, tampak
sekali dia seorang petempur senior. Saya teringat tokoh pejuang Kuba,
Che Guevara. Hanya saja ukuran badannya lebih kecil.
“Kalau dengan Eurico Guterres? Sering berhubungan?” saya penasaran.
“Dia keponakan saya,” jawab Laffae. “Kalau ketemu, salam saja dari saya.”
Cukup lama kami mengobrol. Dia menguasai betul sejarah dan politik
Timtim dan saya sangat menikmatinya. Obrolan usai karena kantuk kian
menyerang.
Orang ini menancapkan kesan kuat dalam diri saya. Sebagai wartawan, saya
telah bertemu, berbicara dengan banyak orang, dari pedagang kaki lima
sampai menteri, dari germo sampai kyai, kebanyakan sudah lupa. Tapi
orang ini, sampai sekarang, saya masih ingat jelas.
Sambil berjalan menuju kamar, pikiran bertanya-tanya: kalau dia seorang
tokoh, kenapa saya tak pernah mendengar namanya dan melihatnya? Seperti
saya mengenal Eurico Gueterres, Taur Matan Ruak? Xanana Gusmao? Dan
lain-lain? Tapi sudahlah.
Pagi tanggal 29 Agustus 1999. Saya keluar penginapan hendak memantau
situasi. Hari itu saya harus kirim laporan ke Bangkok. Namun sebelum
keliling saya mencari rumah makan untuk sarapan. Kebetulan lewat satu
rumah makan yang cukup nyaman. Segera saya masuk dan duduk. Eh, di meja
sana saya melihat Laffae sedang dikelilingi 4-5 orang, semuanya
berseragam Pemda setempat. Saya tambah yakin dia memang orang penting –
tapi misterius.
Setelah bubar, saya tanya Laffae siapa orang-orang itu. “Yang satu
Bupati Los Palos, yang satu Bupati Ainaro, yang dua lagi pejabat
kejaksaan,” katanya. “Mereka minta nasihat saya soal keadaan sekarang
ini,” tambahnya.
Kalau kita ketemu Laffae di jalan, kita akan melihatnya ‘bukan
siapa-siapa’. Pakaiannya sangat sederhana. Rambutnya terurai tak
terurus. Dan kalau kita belum ‘masuk’, dia nampak pendiam.
Saya lanjut keliling. Kota Dili makin semarak oleh kesibukan orang-orang
asing. Terlihat polisi dan tentara UNAMET berjaga-jaga di setiap sudut
kota. Saya pun mulai sibuk, sedikitnya ada tiga konferensi pers di
tempat yang berbeda. Belum lagi kejadian-kejadian tertentu. Seorang
teman wartawan dari majalah Tempo, Prabandari, selalu memberi tahu saya
peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Dari berbagai peristiwa itu, yang menonjol adalah laporan dan kejadian
tentang kecurangan panitia penyelenggara, yaitu UNAMET. Yang paling
banyak dikeluhkan adalah bahwa UNAMET hanya merekrut orang-orang
pro-kemerdekaan di kepanitiaan. Klaim ini terbukti. Saya mengunjungi
hampir semua TPS terdekat, tidak ada orang pro-integrasi yang
dilibatkan.
Yang bikin suasana panas di kota yang sudah panas itu adalah sikap
polisi-polisi UNAMET yang tidak mengizinkan pemantau dan pengawas dari
kaum pro-integrasi, bahkan untuk sekedar mendekat. Paling dekat dari
jarak 200 meter. Tapi pemantau-pemantau bule bisa masuk ke sektratriat.
Bahkan ikut mengetik!
Di sini saya perlu mengungkapkan ukuran mental orang-orang LSM dari
Indonesia, yang kebanyakan mendukung kemerdekaan Timtim karena didanai
asing. Mereka tak berani mendekat ke TPS dan sekretariat, baru ditunjuk
polisi UNAMET saja langsung mundur. Tapi kepada pejabat-pejabat
Indonesia mereka sangat galak: menuding, menuduh, menghujat. Berani
melawan polisi . Di hadapan polisi bule mereka mendadak jadi inlander
betulan.
Tambah kisruh adalah banyak orang-orang pro-integrasi tak terdaftar
sebagai pemilih. Dari 4 konferensi pers, 3 di antaranya adalah tentang
ungkapan soal ini. Bahkan anak-anak Mahidi mengangkut segerombolan orang
tua yang ditolak mendaftar pemilih karena dikenal sebagai pendukung
integrasi.
Saya pun harus mengungkapkan ukuran mental wartawan-wartawan Indonesia
di sini. Siang menjelang sore, UNAMET menyelenggarakan konferensi pers
di Dili tentang rencana penyelenggaraan jajak pendapat besok. Saya tentu
hadir. Lebih banyak wartawan asing daripada wartawan Indonesia. Saya
yakin wartawan-wartawan Indonesia tahu kecurangan-kecurangan itu.
Saat tanya jawab, tidak ada wartawan Indonesia mempertanyakan soal
praktik tidak fair itu. Bahkan sekedar bertanya pun tidak. Hanya saya
yang bertanya tentang itu. Jawabannya tidak jelas. Pertanyaan didominasi
wartawan-wartawan bule.
Tapi saya ingat betapa galaknya wartawan-wartawan Indonesia kalau
mewawancarai pejabat Indonesia terkait dengan HAM atau praktik-praktik
kecurangan. Hambatan bahasa tidak bisa jadi alasan karena cukup banyak
wartawan Indonesia yang bisa bahasa Inggris. Saya kira sebab utamanya
rendah diri, seperti sikap para aktifis LSM lokal tadi.
Setelah konferensi pers usai, sekitar 2 jam saya habiskan untuk menulis
laporan. Isi utamanya tentang praktik-praktik kecurangan itu. Selain
wawancara, saya juga melengkapinya dengan pemantauan langsung.
Kira-kira 2 jam setelah saya kirim, editor di Bangkok menelepon. Saya masih ingat persis dialognya:
“Kafil, we can’t run the story,” katanya.
“What do you mean? You send me here. I do the job, and you don’t run the story?” saya berreaksi.
“We can’t say the UNAMET is cheating…” katanya.
“That’s what I saw. That’s the fact. You want me to lie?” saya agak emosi.
“Do they [pro-integrasi] say all this thing because they know they are going to loose?”
“Well, that’s your interpretation. I’ll make it simple. I wrote what I had to and it’s up to you,”
“I think we still can run the story but we should change it.”
“ I leave it to you,” saya menutup pembicaraan.
Saya merasa tak nyaman. Namun saya kemudian bisa maklum karena teringat bahwa IPS Asia-Pacific itu antara lain didanai PBB.
SEJARAH LEPASNYA TIMOR TIMUR YG TAK PERNAH TERUNGKAP!!
Written By Unknown on Sunday, June 02, 2013 | 11:32 AM
Related Articles
Label:
HISTORY
+ komentar + 1 komentar
Assalamu alaikum wr wb,,senang sekali saya bisa menulis dan berbagi kepada teman2 melalui room ini, sebelumnya dulu saya adalah seorang Pengusaha Butik yg Sukses, kini saya gulung tikar akibat di tipu teman sendiri, ditengah tagihan utang yg menumpuk, Suami pun meninggalkan saya, dan ditengah himpitan ekonomi seperti ini, saya coba buka internet untuk cari lowongan kerja, dan secara tdk sengaja sy liat situs pesugihan AKI SYEH MAULANA, awalnya saya ragu dan tidak percaya, tapi setelah saya lihat pembuktian video AKI ZYEH MAULANA Di Website/situnya Saya pun langsug hubungi beliau dan Semua petunjuk AKI saya ikuti dan hanya 3 hari, Alhamdulilah Ternyata benar benar terbukti dan 2Miliar yang saya minta benar benar ada di tangan saya, semua utang saya lunas dan sisanya buat modal usaha, kata kata beliau yang selalu sy ingat setiap manusia bisa menjadi kaya, hanya saja terkadang mereka tidak tahu atau salah jalan. Banyak orang menganggap bahwa miskin dan kaya merupakan bagian dari takdir Tuhan. Takdir macam apa? Tuhan tidak akan memberikan takdir yang buruk terhadap kita, semua cobaan yang Tuhan berikan merupakan pembuktian seberapa kuat Anda bertahan di dalamnya. Tuhan tidak akan merubah nasib Anda jika Anda tidak berusaha untuk merubahnya. Dan satu hal yang perlu Anda ingat, “Jika Anda terlahir miskin itu bukan salah siapapun, namun jika Anda mati miskin itu merupakan salah Anda. jika anda ingin seperti saya silahkan Telefon di 085298275599 Atau Lihat Di internet ««KLIK DISINI»» saya juga tidak lupa mengucap syukur kepada ALLAH karna melalui AKI ZYEH MAULANA saya Bisa sukses. Jadi kawan2 yg dalam kesusahan jg pernah putus asah, kalau sudah waktunya tuhan pasti kasi jalan asal anda mau berusaha, AKI ZYEH MAULANA Banyak Dikenal Oleh Kalangan Pejabat, Pengusaha Dan Artis Ternama Karna Beliau adalah guru spiritual terkenal di indonesia.
PESUGIHAN MENGUNAKAN MINYAK GHAIB
PENARIKAN UANG MENGGUNAKAN MUSTIKA
BUAYER ANTIQUE/MUSTIKA
RITUAL TOGEL/LOTREY
Post a Comment